Minggu, 15 Januari 2012

Kemerdekaan Pers (Terlalu) Merdeka >> Esai

“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”
(Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1999 dalam pasal 2 tentang Pers)
Indonesia menganut sistem pemerintahan yang demokrasi dengan pedoman negaranya “Pancasila”. Pers merupakan salah satu ciri negara demokrasi. Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut kita mengetahui bahwa pers juga merupakan salah satu bentuk hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum. Melalui pers, setiap orang mampu menyampaikan pendapat, kritik, saran, karya, berbagi wawasan atau bahkan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya secara bebas,baik lisan maupun tulisan.
Pers di Indonesia menganut sistem Pers Pancasila yang bebas dan bertanggung jawab. Pers yang bebas berarti bersifat independent, sedangkan pers yang bertanggung jawab berarti pers menjunjung hak asasi manusia tanpa mengganggu hak asasi orang lain. Pers mempunyai kode etik junalistik seperti yang tertera dalam UU No.40 tahun 1999 pasal 7 ayat 2. Di dalamnya berisi aturan-aturan, norma, tingkah laku dan tata krama kewartawanan serta penerbitan.
Namun bagaimana jika kebebasan pers itu disalah artikan oleh orang- orang yang berprofesi dalam pers itu sendiri? Jawabannya, pasti sudah jelas, kita kembalikan semuanya dalam UU No.40 tentang pers, yang memuat lengkap dan jelas tentang pers. Namun, bagaimanakah keyataan yang terjadi saat ini di Indonesia?
Dalam kehidupan saat ini, telah kita ketahui bahwa setiap orang tak bisa terlepas dari media publikasi baik berupa televisi, radio, surat kabar, website atau bahkan selebaran. Dari media-media tersebut kita dapat mengetahui informasi-informasi teraktual, dan terheboh yang sedang dibicarakan. Dari media, kita juga dapat menimbulkan rasa penasaran atau rasa keingintahuan terhadap suatu hal. Media-media ini juga mendorong kita untuk bisa mengekspresikan atau mengembangkan sesuatu hal.
Namun disamping itu, ternyata pers juga dapat menimbulkan suatu bentuk pemikiran yang telah membuat kita menjadi semakin membodohi diri sendiri. Pers telah memaksa kita untuk berpikiran negatif terhadap berita yang telah tersajikan.
Sebuah contoh, berita tentang penganiayaan seseorang warga Surabaya oleh pasukan pengawal presiden pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Surabaya. Hal ini, membuat kita berpikir negatif tentang pasukan pengawal presiden. Dengan mencuatnya berita tersebut, orang akan memfonis bahwa pasukan pengawal presiden telah bersikap kejam pada orang-orang sipil. Namun, setelah ditelusuri lebih jauh ternyata warga tadi telah menerobos daerah steril yang tidak diperuntukan untuk umum.
Fungsi sebenarnya sebuah pers adalah memberikan informasi yang jelas kepada publik tentang suatu hal yang telah terjadi, memberikan inspirasi-inspirasi untuk publik untuk bersama-sama bisa memajukan kepentingan bersama demi kebaikan semua pihak. Namun dalam kenyataannya saat ini, pers digunakan sebagai ajang pengendali otak-otak para publik untuk menanggapi tentang suatu persoalan yang ada yang mengarah dalam aib-aib negara bahkan masyarakatnya itu sendiri.


SAJAK PALSU

oleh Agus R. Sarjono
Selamat pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu.
Lalu merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu.
Di akhir sekolah mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu yang baru.
Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan dan seniman palsu.
Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu.
Mereka saksikan ramainya perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu.
Masyarakat pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu.
Maka uang-uang asing menggertak
dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan
dan terperosok krisis yang meruntuhkan pemerintahan
palsu ke dalam nasib buruk palsu.
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu
Dari puisi tersebut, dapat kita cocokan dengan kehidupan saat ini yang penuh dengan kepalsuan, di mana di segala bidang bisa menjadi sebuah kebohongan yang dipercayai oleh banyak orang melalui media apa saja. Salah satunya melalui pers. Bagaimana jika semua berita saat ini merupakan kebohongan publik semata?
Sebagai contoh, ketika ayah saya diberitakan dalam suatu koran harian dengan judul “Pram Gagal untuk Kedua Kalinya”. Berita ini berisi tentang pemilihan Sekretaris Daerah di Kabupaten Purworejo yang sedang genjar-genjarnya dibicarakan, dan ayah saya, Drs. Pram Prasetya Achmad,MM termasuk salah satu calon yang diusulkan. Jujur memang dari pihak keluarga sendiri tidak menghendaki beliau untuk menjadi seorang Sekda dengan alasan-alasan tertentu. Melalui seleksi yang panjang dan yang pada akhirnya menunjuk calon lainnya untuk menjadi Sekda, pemberitaanpun muncul disalah satu koran ternama. Dengan judul yang sedemikian negatifnya di mata saya, saya menganggap hal itu sebagai pemfitnahan. Mengapa? Pertama, Bapak Pram sendiri belum pernah mencalonkan diri sebagai seorang Sekda untuk pertama kalinya. Kedua, dalam berita tersebut menampakan seolah-olah pemilihan dalam jabatan Sekda itu adalah sebuah persaingan, padahal sebenarnya penugasan. Dari berita tersebut, membuat saya menyangsikan berita-berita yang lainnya.
Pernah di suatu saat dalam rangka bulan bahasa, di sekolah saya mengadakan sebuah seminar kebahasaan dengan pembicara seorang reporter televisi swasta ternama dan beliau telah berpengalaman dalam dunia jurnalistik.
Saat itu, seorang teman saya bertanya, “Pak, mengapa berita-berita saat ini lebih menonjolkan kepada sisi jeleknya negara kita ini?”
Dan beliau pun menjawab, “Dalam dunia jurnalistik itu, setiap acara mempunyai rating, semakin tinggi sebuah rating maka semakin banyak orang menyukai acara tersebut. Nah, untuk meningkatkan rating itu sendiri diperlukan berita-berita yang teraktual dan menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Untuk itu kita dalam kejurnalistikan membuat sebuah berita itu menjadi berita yang kontroversi dalam dunia masyarakat”
Woow, jawaban itu membuat kita tercengang. Dengan demikian, pers saat ini belum tentu memberikan informasi yang benar dan jelas, dengan alasan untuk menaikan rating. Bagaimana jika saat ini semua pemberitaan cenderung demikian, dan melupakan kode-kode jurnalistik yang telah tercantum dalam UU No.40 tahun 1999 tentang Pers?
Pada faktanya, masyarakat kita saat ini lebih menyukai berita-berita yang berisi tentang tawuran antar pelajar, para anggota DPR maupun MPR yang saling jotos, atau bahkan berita-berita selebriti yang selingkuh padahal mereka sendiri belum pernah bertemu dengan para seleb itu. Hal ini telah memaksa mereka untuk berkomentar tentang hal-hal yang sedang dibicarakan. Komentar-komentar baik pun dilontarkan, akan tetapi komentar buruk juga tak lepas terlontarkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita lihat bahwa orang akan lebih mudah melakukan suatu perilaku negatif daripada perilaku positif. Maka ketika seseorang itu mendengar atau disodori suatu berita yang belum jelas kebenarannya, ia akan membuat atau bahkan memaksa kita untuk menanggapi atau berkomentar tentang berita tadi, dan karena media sendiri lebih memilih rating daripada otak para penikmat pers maka ini akan menarik simpatisan publik dengan komentar-komentar buruknya.
Komentar buruk itu tak selamanya buruk, Komentar buruk itu bisa jadi membangun. Akan tetapi kenyataannya saat ini kebanyakan orang itu hanya bisa berkomentar dan bukan mencari solusi. Pada akhirnya, karena publik merasa tak terpuaskan maka tindakan-tindakan anarkis pun tak bisa dihindari.
Pers telah mengendalikan otak kita, contohnya ketika ada berita tentang Bank Century yang kasusnya pernah mencuat pada tahun 2006 dan pernah juga “terabaikan” dan muncul lagi di permukaan pada tahun 2009, banyak masyarakat menganggap bahwa penanganan kasus tersebut tidak serius. Padahal kita sendiri sebenarnya tidak tahu apakah kasus itu ditangani atau tidak, tetapi kebanyakan orang pasti menganggap kasus itu “terabaikan”. Apakah kasus ini benar-benar terabaikan? Kita pastinya mengharapkan berita tersebut benar dan bukan fitnah belaka, namun bagaimana jika berita tersebut salah, mana pihak yang dirugikan?
Sesuatu berita yang benar namun bisa menjatuhkan nama baik suatu individu, institusi atau bahkan pemerintah memang tidak baik. Mungkin banyak orang akan menganggap itu sebagai pencemaran nama baik, dan seharusnya di hukum sesuai kesalahannya menurut undang-undang yang berlaku saat ini di Indonesia. Di salah satu sisi mencuat pertanyaan, apakah seseorang seharusnya dihukum karena melakukan profesinya? Atau apakah pers seharusnya diberi kebebasan dan jaminan dari hukum?
Ternyata keprihatinan juga telah disampaikan oleh Ketua fraksi Partai Demokrat, M Ja’far Hafsah dalam diskusi ‘Pers Pilar Keempat Demokrasi’ yang digelar INILAH.COM bekerjasama dengan Universitas Paramadina, Selasa (12/4/2011) membacakan sebuah puisi karangannya untuk para pers.
Puisi Ja’far untuk Pers
Koran adalah media, koran adalah berita dan informasi. Tidak ada minum kopi tanpa koran, media, dan berita. Koran dibenci tapi rindu kata penyanyi Diana Nasution
Seperti rokok, koran kawan dan lawan. Seperti morfin, kita kecanduan. Koran sumber kebaikan, kejelakan, kekonyolan dan terkadang kebanyolan
Tapi bagi saya, koran sumber inspirasi. Wahai koran, muatlah berita secara proporsional dan profesional. Hebatlah Kau, I love You
“Seperti rokok, koran kawan dan lawan. Seperti morfin, kita kecanduan. Koran sumber kebaikan, kejelakan, kekonyolan dan terkadang kebanyolan”. Kalimat ini sungguh menampakan fakta pada saat ini. Pers tidak hanya menberikan kebaikan tapi juga yang mulai banyak memberitakan kebohongan atau keburukan belaka.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa pers merupakan salah satu alat kontrol masyakat Indonesia kepada pemerintah. Memang tidak ada salahnya jika berita tersebut cenderung memaparkan sisi keburukan pemerintah itu sendiri. Namun apakah memang itu cara yang terbaik? Dan apakah sampai saat ini ada perubahan yang positif atau malah mengarah ke hal yang negatif?
Semua kontroversi ini, memang seharusnya kita kembalikan kepada hukum di Indonesia dan pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan. Wartawan memang semestinya memahami betul profesinya dan juga tidak melupakan kode-kode etik jurnalistik. Masyarakat semestinya bisa mnegambil hal positif dari suatu pemberitaan dan bukannya bersifat anarkis karena suatu pemberitaan.
Kemerdekaan pers merupakan suatu hal penting yang semestinya mampu menjadi tonggak pembangunan masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat yang lebih maju. Kemerdekaan pers telah memberikan ruang tersendiri bagi mereka yang menggeluti dunia pers untuk mampu mengembangkan profesinya, bukan malah menjadi arena adu pemikiran dengan egonya sendiri-sendiri.